Custom Search

Sabtu, 22 November 2008

Catatan bagi Kongres Nasional XXXI GMKI

Berdirilah Teguh, Jangan Goyah!”


OlehYoel M IndrasmoroTajuk di atas merupakan tema yang diusung Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dalam kongresnya, 5-10 November 2008 di Surabaya. Tema (bahasa Yunani thema—dari tithemi ”menempatkan, menunjukkan”), menurut Kamus Filsafat karya Lorens Bagus, adalah ”apa yang diletakkan atau diajukan”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknainya sebagai pokok pikiran. Bagi Homo sapiens, ”manusia berpikir”, sebuah tema menjadi signifikan karena mendasari suatu kegiatan manusia. Aneh rasanya, suatu kegiatan masyarakat tanpa tema, terlebih jika cakupannya nasional. Dan tema yang berdasarkan I Korintus 15:58 itu adalah kelanjutan dari tema kongres sebelumnya—”Bangkitlah Menjadi Taruk bagi Bangsa!”Berdiri Teguh Menjadi taruk (akar) memang enggak gampang. Pada kenyataannya banyak orang lebih suka menjadi pucuk yang terlihat dan dikenal. Menjadi taruk berarti rela tak terlihat—bagai garam dalam masakan—namun berguna bagi pertumbuhan tanaman. Berkait dengan Indonesia, menjadi taruk berarti menyalurkan nilai-nilai Kristen bagi pertumbuhan bangsa. Dan masalahnya acap di sini: banyak orang lebih senang menjadi pucuk. Awalnya, dia mungkin mencoba menjadi akar, namun seiring waktu dia mengubah panggilannya dengan menjadi pucuk! Oleh karena itu, tema kongres lebih bersifat meneguhkan panggilan GMKI: ”Berdirilah Teguh, Jangan Goyah!” Hanya empat kata, namun cukup menjadi rambu agar GMKI tetap berpegang teguh pada panggilannya menjadi taruk bangsa! Sejatinya, pertumbuhan tanaman sangat bergantung pada sistem perakaran. Tanpa sistem perakaran yang baik, tanaman akan merana. Frasa ”berdiri teguh” mengandaikan bahwa GMKI telah meyakini dan menghidupi panggilannya sebagai taruk bangsa. Di tengah arus reformasi yang macet di sana-sini—manusia cenderung mempertahankan status quo—GMKI dipanggil untuk setia menyalurkan nilai-nilai kebenaran agar reformasi berjalan pada relnya. Kata ”gerakan” yang disandang GMKI merupakan identitas. Kata itu pulalah yang seharusnya membuat GMKI senantiasa bergerak menerobos liat dan kerasnya lapisan tanah untuk mencari air dan hara yang sangat dibutuhkan tanaman.Dengan kata lain, GMKI harus tekun tanpa mengenal lelah melakukan studi—sesuai hakikat mahasiswa—untuk melahirkan pemikiran alternatif yang memecahkan keapatisan masyarakat dalam era reformasi. Telah menjadi takdir taruk untuk menyalurkan semua yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Itu berarti, GMKI pun harus selalu dalam keadaan baik. GMKI harus hidup berdasarkan nilai-nilai Kristiani yang dipercayainya. Tanpa itu, penyaluran nilai-nilai tersebut takkan pernah efektif. Bahkan, bisa menjadi bahan olokan! Jangan GoyahPanggilan menjadi taruk mensyaratkan konsistensi untuk tetap setia menjadi akar. Dengan kata lain, tidak tergoda untuk mengubah panggilan atau memaksa diri menjadi pucuk. Itulah godaan terbesar reformasi. Masih teringat dalam benak bagaimana mahasiswa bergerak merobohkan pemerintahan satu dekade lalu. Mereka begitu bersemangat. Namun, kala terlibat aktif formal—entah dalam lembaga legislatif maupun eksekutif—mereka seperti mengebiri diri sendiri. Kompromi merupakan godaan terbesar kala seseorang memegang tampuk kekuasaan. Lebih parah lagi, jika dia sendiri merasa mustahil tetap bertahan dalam prinsip. Belum lagi adanya anggapan umum: ”semua orang melakukannya”.Kita bisa mengubah anggapan tersebut. Jika tidak ikut arus, kita bisa mengatakan bahwa tidak semua orang melakukannya. Minimal ada satu orang: diri kita sendiri. Oleh karena itu, hal kedua yang diusung dalam tema adalah jangan goyah! Manusia cenderung goyah. Apa lagi jika dia sendirian memegang nilai-nilai kebenaran. Namun, itulah inti panggilan seorang Kristen—menerapkan nilai-nilai kebenaran sebagaimana Kristus.Jalannya memang tidak mudah. Tetapi, menurut Pater Beek, SJ, ”Kebahagiaan dan pencapaian hidup tertinggi akan datang ketika seseorang memilih untuk hidup konsisten sesuai dengan nilai-nilai tertinggi dan pribadi yang terdalam.”Itu jugalah masalah terbesar kepemimpinan Indonesia sekarang. Tak mudah mencari pemimpin yang sungguh-sungguh konsisten menerapkan nilai-nilai kebenaran. Inilah kesempatan emas setiap anggota GMKI untuk konsisten menghidupi nilai-nilai kebenaran. Tentunya, dengan melakoninya! Pada titik ini pula keteladanan menjadi sebuah keniscayaan. Keteladanan untuk—mengutip syair Bangun Pemudi Pemuda—”Sudi tetap berusaha, jujur, dan ikhlas. Tak usah banyak bicara t’rus kerja keras. Hati teguh dan lurus, pikir tetap jernih. Bertingkah laku halus, hai putera negeri”. Dalam syairnya, Alfred Simanjuntak menekankan pentingnya sikap ”pantang menyerah”, ”jujur”, ”ikhlas”, ”kerja keras”, ”keteguhan dan kelurusan hati”, ”pikir jernih”, dan ”kehalusan budi”. Apa artinya, badan kuat tapi bodoh? Lebih mengerikan, jika pintar, namun tanpa nurani. Pascal pun menekankan pentingnya ”nalar rasa”.Semua itu bukan hal baru. Tetapi, pemimpin berkarakter seperti itulah yang dibutuhkan Indonesia kini. Dan GMKI—dengan Yesus Kristus sebagai Kepala Gerakan—dipanggil pula menjadi sarana pembentukan pemimpin berkarakter! Jalannya memang rumpil. Oleh karena itu: berdirilah teguh, jangan goyah! nPenulis adalah pendeta Gereja Kristen Jawa Jakarta.



Copyright © Sinar Harapan 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar